Kehilangan Mimpi dan Beberapa Jalan Sempit Penuh Negoisasi

Kalau diperhatikan, semenjak ada gejolak kehidupan yang mendewasakanku akhir Juli kemarin (yang memaksaku untuk kembali menulis) blog ini banyak berubah. Salah satu perubahan yang paling aku suka adalah kata-kata yang sekarang ada di bawah judul blog ini: "Menyeriusi hidup, karena mati tidak sebercanda kehilangan mimpi"

Aku belakangan ini menyadari sesuatu. Punggungku sudah tak selebar itu untuk menanggung semua mimpi yang kucoba paksakan. Belakangan ini mimpi-mimpiku sudah terbang tak tahu ke mana arahnya. Sedih. Sangat sulit. Aku mulai merangkai mimpi-mimpi yang kupercayai pada saat aku masih kecil. Pada saat aku mencapai kondisi orang paling dewasa. Mencoba menelaah pelan-pelan kenapa aku sangat berambisi dengan impian-impian itu.

Aku mempunyai mimpi untuk menjadi penulis novel fantasi. Well, aku belum kehilangan gairah untuk menulis ini. Aku kemudian menelaah kenapa pada saat aku kecil dulu aku bercita-cita menjadi seorang penulis novel fantasi. Kenapa bukan novel cerita dewasa? Aku berpikir lamat-lamat. Jawabannya datang ketika aku melirik rak buku dan melihat jejeran novel Harry Potter terpampang rapi. Aku bukan Potterhead, tidak terlalu mengidolakan Rowling. Tapi Rowling menjadi salah satu ambisi yang kukejar. Kemudian aku mengingat-ingat kejadian masa kecil. Hal yang paling kusuka selain novel adalah kartun jejepangan (aku masih ingat bagaimana aku merasa wah ketika melihat permainan pedang Sesshomaru), game (khususnya game perang bertemakan fantasi), dan berkhayal tentang kepahlawanan.

Hal yang paling ditanamkan padaku sejak ekcil adalah jiwa nasionalisme. Walaupun ditanamkan secara tidak langsung, tapi aku mengerti orang-orang yang kutuakan mengajarkan nasionalisme lewat mengenalkan budaya-budaya Indonesia yang istimewa. Akibat dari semuanya adalah: Seorang bocah yang sangat suka cerita tentang kepahlawanan mengalahkan keburukan dengan berbagai unsur sihir dan magis. Aku ingin jadi penulis novel fantasi. tekadku pada saat itu sungguh bulat sekali. Kapan lagi kamu kepikiran bahwa manusa dengan ilmu kanuragan sanggup membabat habis naga?

Namun, semakin bertambah tua, aku menego mimpiku.

Puisi, merupakan pelarian terbaikku. Aku tidak ingin berpuisi, aku benci berpuisi. Tapi aku menikmati pelarianku. Aku menego mimpiku sehingga berubah menjadi: seorang penulis. Ternyata mimpiku semurah itu hingga sanggup dinego.

Hal terakhir yang paling kubenci sebenarnya adalah satu hal. Ketika mimpiku masuk jurusan sastra kandas di tengah jalan, atau malah di awal jalan, aku menego mimpiku lagi. Aku ingin jadi apapun di mana akhirnya aku bisa bebas menulis. Akhirnya aku terperangkap pada Jurusan Arsitek Kapal, dengan iming-iming gaji yang besar. Aku berpikiran untuk punya gaji yang besar sehingga aku bisa bebas menulis tanpa menggantungkan hidupku pada menulis. Ada alasan kedua: Siapa sih yang tidak ingin menulis soal kapal layar dan perang antar bajak laut? terlalu seru untuk dilepaskan.

Tapi mimpiku memang murah. Aku belum bisa mencapai apa pun sampai saat ini. Menulis ga pernah selesai, dan lain sebagainya.Itu akibatnya menego mimpi. Kamu gak punya determinasi untuk mewujudkannya. Sedih. Sangat Sulit.

Lalu aku berpikir, apakah masih sempat semuanya jadi nyata sebelum duapuluhtujuh?

Ruang Kerja Wikara, 13 Oktober 2017.

Komentar

  1. "Aku tidak ingin berpuisi, aku benci berpuisi. Tapi aku menikmati pelarianku. Aku menego mimpiku sehingga berubah menjadi: seorang penulis. Ternyata mimpiku semurah itu hingga sanggup dinego." :'(

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer