Kres

Pertengkaran yang terjadi memang memuakkan. Ketika Surabaya menyentuh angka 37, bukan cuma aspal saja yang panas, isi kepala orang-orang juga. Entah apa yang datang lebih dulu, amarah ataukah panas Kota Surabaya.

Rumah tidak lagi menjadi hal yang menyenangkan untuk dipijak. Walau pun masih tempat yang paling melelapkan untuk tidur. Bukan karena apa-apa. Rumah sedang kedatangan tukang yang tiap siang berisik memukuli lisplang dan mengecat genteng.

Renovasi rumah menjadi hal yang sangat dibenci akhir-akhir ini. Panas, berdebu, barang dipindah semua, dan berisik. Khusus untuk yang terakhir aku menyayangkan ternyata ada yang lebih berisik dari suara dentuman palu pada tembok: pikiran manusia.

Pertengkaran itu memuakkan. Tak salah apabila orang-orang menghindarinya. Tapi ada yang lebih memuakkan dari sekadar bertengkar. Salah satunya adalah saling diam padahal peduli.

Aku ingat sore itu aku mencoba mengundur keberangkatan menuju sebuah tujuan. Tapi beberapa pikiran tetap kukuh pada pemikirannya. Aku tak masalah. Masalah kemudian muncul pada saat apa yang tidak saling diucapkan merupakan hal yang berbeda dan saling menyerang.

Tidak ada yang salah. Tidak ada yang benar.

Lalu pada saat perjalanan di naik turun Saradan, aku tersadar lagi akan sesuatu. Berbicara adalah suatu hal yang penting. Bahkan ketika kamu harus membentak dan menampar pemikiranmu, mengutarakan isi pikiran adalah mutlak. Pastinya demgan catatan kondisi.

Aduh, tapi sepertinya pikiranku semburat setelah dipotong Sumber Rahayu dari lajur sebelah kiri.

Komentar

Postingan Populer