DH #7

Meja Kerja Berwarna Cokelat, Hari kedua setelah kelahiran September di 2018.

Sudah dua hari ini aku membahasakan ketakutan dengan tidur dan tetap berbaring sedih. Mengerjap beberapa jari yang kukunya patah di beberapa sisi karena terlalu sering digigit. Hasil akhirnya kurasa tidak cukup buruk: hanya belakang leher yang tegang terlalu lama menempel bantal dan pagi-pagi yang kujeda langsung menjadi malam dingin.

Dalam mimpi-mimpiku aku diancam
Oleh ketakutanku sendiri.

Namun, ketika aku terjaga dan melihat angka penunjuk waktu di ponsel, semua daya yang ada pada diri menguap begitu saja. Hilang tertutup kabut yang menempel pada selaput lendir mataku yang terbuka.Semua ingin dan hasrat terbakar menjadi asap hitam yang mengepul di tong-tong berkarat yang di beberapa sisi ambisinya sudah berlubang. Pilihan yang disisakan untukku pada siang hari ketika toa-toa masjid menggaungkan puji-pujian adalah terlelap sekali lagi. 

Dan berharap tidak bermimpi. Buruk.

Lingkaran setan ini terus berputar selama 48 jam. Jantungku kelu berdetak. Lidahku pahit menyesap anggur bercampur yakult. Rasanya aneh, seperti tidak merasakan apapun. Tapi aku tahu di dalam kerak-kerak tersebut ada beberapa kengerian yang berwujud dalam gelap mencegahku untuk menggerakkan kaki-kaki ambisiku menuju lembah bersenja indah ataupun fajar berhawa hangat.

Hingga gelasku tak lagi bening. Berwarna merah. Aku masih saja tak mengakui apa-apa saja yang menghalangiku. Aku masih tak mau menerima dengan tulus bahwa aku memang tidak bisa dan tidak melakukan apa-apa yang menuntunku ke suatu cerminan impian diriku di masa lampau. Hingga warna merah di gelas itu mengerak lebih keras, aku baru sadar Agustus telah berakhir dan menyisakan nista yang aku sendiri tak paham kenapa aku masih saja tercekat di kelahiran September.

Kemudian aku menuliskan semua sedu sedanku pada tulisanku ini. Membaca lagi tulisan-tulisan lain di blog ini. Mencoba tersenyum kecut saat menyadari bahwa tak ada tulisan sama sekali yang cukup berarti pada semester ini. Keinginan untuk terus menuliskan semua kesedihanku sama sekali tak kulakukan belakangan ini. 

Aku sekarang malu, masih saja menundukkan diri pada kesedihan dan ketakutan. ketika masih ada teman yang menungguku, masih ada pembaca yang menungguku, dan masih ada kamu yang menungguku.

PS: maaf tulisan ini benar-benar berantakan. Sudah lama tidak mencoba menuliskan kesedihan dan ketakutan yang terlalu abstrak.






Komentar

Postingan Populer