Kepada Kelanasari

Aku mengerti kamu masih menunggu di pelabuhan bongkar muat itu dengan rambut terurai yang dikibarkan sore.

Jadi aku mencoba mengutarakan jawabanku ketika kau mencoba mengajakku sekali lagi naik kapal dan berlayar mengarungi ketidaktahuan. Aku tak mau menjawab di depan matamu, karena aku tak akan bisa jujur melihat kesungguhan yang ada di hitam matamu.

Begini,

Kelana, aku mencoba memilih untuk tidak menghabiskan sisa ambisiku denganmu. Selagi percikan di relung hati paling dalam masih ada dan mampu bercerita duka, aku ingin menetap di satu rumah kelabu di ujung setapak. Perasaanku letih untuk diajak beranjak terus menerus.

Tumpahan teh di meja penuh serakan daun dan perasaan yang meranggas itu masih belum kering. Kepergianmu diiringi oleh gesekan biola dan rancak keroncong milik Gesang. Engkau berkelana sekali lagi menghadapi duka cita. Sementara aku mencerca perpisahan yang kita bina.

Kelana, pergilah.

Jangan bawa aku berjalan terlalu jauh lagi. Aku ingin menetap di bawah langit biru di sela-sela mendung. Aku tak mau lagi melihat lautan hidup tanpa syukur yang terhampar di sebelah utara pelabuhan. Aku tak ingin terombang-ambing di atas kapal penuh ketidakpastian dan rasa cemas.

Hati-hati Kelana.

Semoga hatimu masih berdetak setempo dengan perih-perih yang kucetak dalam jurnal cokelatku.

Yang pernah menemani langkahmu berkelana.

Komentar

Postingan Populer