Mengubur Fiksi Fantasi Lokal dengan Sekop Minim Apresiasi

Sebenarnya, sejarah kepenulisanku tidak panjang dan produktif. Hanya sekadar hobi dan kurang ditekuni karena ada beberapa hal yang menghambat. Salah satunya adalah genre yang dipilih.

Pada saat menulis rata-rata aku akan memilih genre fiksi fantasi. Untuk yang belum paham apa itu fiksi fantasi, fiksi fantasi adalah cerita fiksi di mana bentuk-bentuk imaji fantasia seperti sihir, lore, kekuatan ghaib, dan beberapa hal yang diluar nalar manusia yang cenderung tidak sesuai dengan hukum alam. Namun, walau pun tidak sesuai nalar, sebaiknya konteks fantasi tetap diatur sedemikian rupa sehingga mempunyai batasan yang jelas. Contoh paling gampang tentang fiksi fantasi adalah seri Harry Potter. Rowling yang cukup cerdas mengolah konsep fantasi dan membatasinya dengan berbagai aturan sihir. Penyihir dalam dunia HP adalah seorang yang bisa mengatur sihir dan menyalurkan sihirnya dengan tongkat sihir.

Lalu kenapa memilih genre ini menghambatku untuk produktif?

1. Fiksi Fantasi lokal adalah kroco
Walau pun ada banyak karya fiksi fantasi yang beredar dan laku di pasaran, ternyata hanya sedikit sekali karya lokal yang diterima. Kalau tidak setuju statement ini silahkan, tapi pernahkan baca akkadia? Nibiru? Thermelian? Vandaria? Kalau sudah pernah, selamat berarti sudah menemukan bacaan fiksi fantasi lokal yang bagus.

Aku dan teman-teman kadang bingung, mitologi Indonesia ini melimpah ruah dan menunggu untuk diolah menjadi sebuah cerita yang bagus. Tapi kenyataannya, sedikit sekali fiksi fantasi yang mengangkat tema ini.

Dapat disimpulkan fiksi fantasi lokal di Indonesia kurang mendapatkan apresiasi. Kalau apresiasinya minim bagaimana bisa berkarya? Sampai sini aku paham kenapa masih saja kroco dari dulu.

2. Stereotip Masyarakat tentang novel bagus
Ada dulu seorang teman yang mengatakan bahwa novel yang bagus adalah novel-novel kontemporer sekelas Bumi Manusia atau Tetralogi Laskar Pelangi. Dia pernah bilang bahwa teenlit dan novel fantasi (khususnya young adult)  adalah novel menye dan kurang berkelas.

Banyak pecinta fiksi fantasi khususnya pegiatnya tidak setuju dan cenderung mendeskritkan teman saya ini. Para pecintanya kemudian malah membenci novel-novel kontemporer karena terlalu saklek dan kurang imajinasi. Hal ini tidak sepenuhnya salah karena rata-rata novel kontemporer memang menjelaskan hubungan inter persona dan beberapa percintaan yang dibumbui seks.

Jadi kesimpulannya adalah stereotip ini mempengaruhi pasar. Walau pun fiksi fantasi diterima tapi fiksi fantasi lokal masih dianggap receh dan kurang nyastra.

3. Latar Belakang Penulis Fiksi Fantasi Lokal
Sadar atau tidak, fiksi fantasi lokal berkembang dari minat dan hobi. Sehingga penulisnya pun hanya berangkat bukan dari latar belakang kepenulisan yang baik. Penulis fiksi fantasi lokal masih kalah jauh kualitas kepenulisannya dengan orang-orang yang memang membuat novel kontemporer. Hal ini membuat fiksi fantasi makin dikucilkan.

Kalau membaca Supernova milik Dee atau Bumi, Bulan, Matahari-nya Tere Liye kamu pasti menangkapnya sebagai fantasi. Eh tapi, walaupun karya-karya itu sukses di pasaran dan mengucur apresiasi. Keduanya berangkat bukan dari tulisan fiksi fantasi. Aku berani jamin tulisan mereka bisa bagus karena mereka banyak menulis dan mempunyai karya yang sukses sebelum akhirnya membuat karya fiksi fantasi.

Sebenarnya alasannya receh.

Mungkin terdengar seperti itu. Tapi bagi penulis-penulis cerita fantasi aku jamin itu berat juga. Satu poin paling penting sih ada di kurangnya apresiasi yang kemudian merujuk ke selera pasar.

Aku ngerti bahwa Indonesia itu masyarakatnya masih sombong dan lebih banyak evaluasi daripada apresiasi. Mungkin kebanyakan makan micin dan dieval penjajah. Tapi, plis, penulis itu tidak dipelajari tapi dibentuk. Ketika tidak ada wadah untuk berkembang dan membentuk penulisnya, ya karyanya sebatas itu-itu aja. Apalagi tidak diapresiasi haduuuh.

Jadi ingat dulu pas ngonsep bikin dunia dan agama di dunianya novel, ada yang nyindir kalau aku kurang iman. Waduh trus gimana? Dikira Tolkien bikin middle earth dan Lewis bikin Aslan yang bagai Tuhan itu kurang iman? Trus harus dievaluasi kasar gitu? Susah kali kalau mau nulis fantasi.

Semoga kedepannya komunitas kepenulisan fiksi fantasi hidup lagi.

Wikarasca
Pengelana di Erenjad

Hasil diskusi bareng grup line Fantasy Inking

Memasyarakatkan fantasi, memfantasikan masyarakat

Komentar

Postingan Populer