DH #8

Pekikan Layne Staley dan petikan Jerry Cantrell bergema di dalam kepalaku. Aku merasa sedang terperangkap dalam suatu infinitum yang keji. Terombang ambing ke sana ke sini, namun tetap kembali memeluk sedih. Sukar untuk lepas dari angka delapan penuh duri, sementara paru-parumu terus meminta racunnya.

Butuh sekitar lima halaman komik webtoon untuk membuat mataku tertutup dan otakku berhenti memikirkan tentang apa-apa saja yang buatku mengerikan. Insomnia, begitulah apa yang orang katakan. Buatku tak lebih dari sekadar pelarian diri agar dapat hancur lebih cepat.

Aku akan hancur, dengan batang nikotin di mulutku dan nestapa di genggamanku. Lupakan soal bagaimana wanita dan tahta pernah memutar roda kehidupan kembali lagi menuju dasar. Aku tak akan bisa dihancurkan. Namun, aku hanya sedang menghancurkan diriku -lebih cepat dan lebih sadis dari biasanya.

Dan apakah aku masih harus menunda kekalahanku nanti. Karena dibayangi seorang hantu, memang tak mudah. Semua kesempatanku hancur dan hanyut dalam palung berisi ketakutan.

Dan aku bahkan tidak akan pernah bisa berbicara lantang.

"we chase the misprinted lines"

Perbolehkan aku untuk mengamini nutshell milik alice in chains menjadi sebuah doa. Akan kunyanyikan kepada Tuhan pada saat aku bertemu dengannya. Kuharap dia juga sadar pernah melakukan kesalahan: menjadi Maha Benar adalah sebuah anomali dimana sebuah koin adalah dua sisi yang salong menempel dan berhubungan.

Dan benar, di malam-malam yang panjang di atas keyboard laptop menghajar bales di mt travia, adalah salah satu bentuk ibadahku mengamini lirik lagu itu.

Aku tersesat dan tak pernah tahu ke mana lagi harus melangkah. Mengacau dan terus menerus mengacau. Semua jalan yang ada di depanku terlihat seperti sebuah jebakan, disiapkan untuk menghabisiku ketika aku sendiri tak bisa menghabisi diriku sendiri.

Mulanya aku mengejar sesuatu yang kuanggap benar. Kuanggap memang disanalah jalan diriku yang ditolak dan dibuang berkali-kali berada. Namun jalan yang kulalui berat dan susah, dan dengan semua bisikan dalam gelap menggulungku ke tepian malam. Membuatku bertanya, apakah aku bisa?

Apakah aku bisa?
Apakah aku tidak akan gagal?
Apakah nantinya berhasilku tidak akan direnggut dariku?

Berbagai pertanyaan memelukku dalam lelap. Mesra sekali, hingga aku terpaksa terjaga, minum beberapa glukosa agar siap bergumul kembali dengan nestapa. Namun ketika langkahku meninggalkan bekas kaki di lantai, aku sadar bahwa kemesraan yang dimaksudkan adalah siksaan. Pertanyaan-pertanyaan itu ada di depan kaca, merupa aku, merokok dan mati.

Dan itu berulang, di setiap sepi

Hingga aku berusaha lepas dari segala jerat yang mengikatku. Berusaha bahagia dari sedih yang kelabu dan sedu.

Namun, dunia tidak pernah lebih konsisten daripada ini. Infinitum menerjangku. Ketika aku ingin berjalan kembali memunggungi ketidak pastian yang makan indomie di meja makan berwarna cokelat, aku mendapatkan bahwa dia akan membelah diri menjadi dua ketidak pastian, tiga dan lebih.

Ketidak pastian melahirkan ketidak pastian lain yang siap menjeratku kembali dengan keadaan dan pola pikir yang berbeda beda. Membuatku tersiksa dan kalah.

Jadi, selama akhir 2018 dan awal 2019, aku bertamu kepada pakar, menceritakan masalah-masalah dan jerat-jerat yang menyisakan bekas ikat di otakku.

Namun, aku hanya menemukan ketidak pastian.

Segala arah dan bimbingan yang diberikan tidsk lebih daripada ego dan juga titah untuk meneruskan sebuah perjuangan. Perjuangan yang bahkan aku tidak pernah tahu apa yang sedang diperjuangkan. Perjuangan yang kutahu hanya untuk tidak menyerah kalah. Karena ketika aku kalah, aku bahkan tidak akan bisa bertemu Tuhan dan menyanyikan Nutshell. Aku hanya akan tersesat, meringkuk dan disiksa di bawah tanah.

Aku kemudian menemukan peta yang buram dan terus menerus berubah mengikutiku, menuntunku kembali pada kematianku. Dan salahkah aku hanya ingin berusaha hidup hingga nanti?

"if i cant be my own, i'd feel better dead"

Dermaga Greyhavens, menunggu keberagkstan.

Komentar

Postingan Populer