Rindu Itu Biasa Saja
Surabaya, 30 Desember
2016
Keanggunan menyeruak menghiasi senja yang mencoba tidur. Sedikit
kurang memukul-mukul bantalnya, berharap kenyamanan memeluknya dengan pasti.
Tapi sialnya kenyamanan tak kunjung datang, malahan camar-camar yang berteriak
terbang dari pelabuhan tanjung perak mengusik telinganya hingga panas. Senja
perlahan-lahan mulai menghentikan gerakannya, memeloloti camar-camar itu dan
melemparinya dengan warna jingga.
Wirya menghela nafas panjang melihat peraduan senja yang
seperti anak kecil. Senja sekarang sedang melemparkan warna jingga ke arah
burung-burung camar yang menghindarinya. Warna jingga itu kemudian melekat pada
awan-awan dan membuat air mata wanita mengalir di pipinya yang lembut saat
melihatnya.
“Wiryaaa”
Wirya mengangkat kepalanya dari kubangan senja, ibunya
memanggilnya. Wirya tidak akan berani membantah panggilan ibunya. Jadi dia
buang kemalasan jauh-jauh dan mulai berjalan masuk kembali ke rumah dan
menyusuri tangga. Tangga itu terletak di samping ruang baca. Dan di dindingnya
banyak sekali lukisan tentang langit dan laut. Wirya sendiri sering memandangi
lukisan itu satu persatu. Dan kesukaan Wirya adalah lukisan pantai yang kosong
dan hanya menyisakan jejak kaki di pasirnya. Begitu kosong dan sepi.
Pintu ruang baca kemudian terbuka, seorang wanita
kemudian berjalan keluar ke arah Wirya. Wanita itu berhenti di muka pintu dan
melipat lengannya. Sekilas pandangannya marah. Wirya yang pandangannya sedang
terpaku pada lukisan pantai itu tak tahu, bahwa ibunya yang tadi memanggilnya
sudah ada di sampingnya.
“Aku tak tahu apa-apa, tapi kenapa kau suka sekali
memandangi lukisan itu?” tanya ibunya. Wirya yang kaget lalu menoleh kepada
ibunya dan mengedipkan matanya. Kebingungan akan menjawab apa. Ibunya kemudian
menaiki tangga menghampiri Wirya lalu menepuk pundaknya, “Yang melukis lukisan
itu besok akan ke sini. Sekeluarga malah. Melewatkan malam tahun baru di sini
kalau tidak salah. Aku hanya ingin memberitahumu itu. Tadi mamanya telepon
ibu.”
“Tyas ke sini? Ngapain coba?”
“Wirya, memang kenapa kalau Tyas ke sini? Dia kan teman
baikmu. Jadi tidak mengapa bukan kalau dia bertamu dan main-main di sini.”
Sanggah Ibunya. Keduanya kemudian terdiam. Membuat pikiran Wirya dan ibunya
melantur ke mana-mana. Senyum merekah di bibir keduanya. Ibunya Wirya kemudian
berkata dengan manis dan menusuk perasaan Wirya, “Atau jangan-jangan kamu sudah
tidak lagi menganggap Tyas sebagai teman?”
Deg.
“Apa maksud ibu?”
“Ya, kamu menganggap Tyas lebih dari sekadar teman.” Goda
ibunya.
“Mungkin” bisik Wirya pelan dan melangkah menuruni
tangga. Ibunya hanya keheranan ditinggal anak lelakinya itu. Terpaku di depan
lukisan pantai kosong yang ada di depannya.
Pikiran Wirya melayang kemana-mana dia sengaja pergi dari
hadapan ibunya untuk menenangkan diri. Tyas adalah teman lamanya. Sekarang
bahkan Wirya tidak tahu harus berbuat apa. Dirinya dipenuhi oleh
euforia-euforia yang siap membuat dirinya meledak. Ibunya benar. Tyas adalah
wanita yang pernah disayangi oleh Wirya. Itulah salah satu alasan mengapa Wirya
sangat suka memelototi lukisan pantai kosong yang sepi itu.
Wirya akhirnya duduk di sofa ruang tamunya dan membiarkan
pikirannya melambung tinggi.
Surabaya, 31 Desember
2016, 09.00
Pagi hari itu tidak seperti biasanya. Koran pagi yang
biasa baru diambil dari depan rumah pukul 8 tepat, sudah dibaca oleh Wirya
pukul tujuh. Dia bahkan sudah mandi padahal masih dalam suhu liburan yang
mendukung untuk melanjutkan tidurnya setidaknya sampai pukul sembilan.
Melihat tingkah laku Wirya, kedua orang tuanya hanya
tersenyum sendiri. Cinta memang saling menguatkan dan menyemangati. Bahkan adik
Wirya yang duduk di bangku SMA malah keheranan kenapa kakaknya dapat bangun
mendahului dirinya.
Wirya tidak menggubris mereka semua dia membaca koran,
tapi sayangnya hatinya tidak ada di situ. Hatinya sedang mengangkasa dan
terbang. Kursi teras rumahnya yang terbuat dari rotan seakan tak kuat menahan
beban kasmaran yang dimiliki Wirya. Bunga kamboja yang berada di halaman
terasnya hanya diam mengejek orang yang menemukan kembali perasaannya.
Selepas dhuhur, suara mobil di depan rumah menyentakkan
Wirya dari kursinya. Denyut nadinya berdetak lebih cepat dan dengan tenaga yang
luar biasa. Seakan dia akan pingsan sekarang.
“Laki-laki harus menyambut wanitanya. Dasar!” ayahnya
yang duduk di sebelahnya mengagetkan Wirya.
“Iya...”
Wirya pun melangkahkan kaki menuju depan rumah. Tak lupa
dia mengambil kunci di garasi. Dan saat dia membuka pintu itulah, rasa yang
bercampur aduk itu melilit-lilit perutnya, menghantam ulu hatinya, dan memilin
otaknya.
“Assalamualaikum!”
Di hadapannya, berdiri seorang wanita, berambut pendek
sebahu. Dengan hanya terpisahkan pagar besi, dengan posisi akan menekan bel
rumah. Kacamatanya melekat di wajah. Kacamata yang tidak berubah sejak 3 tahun
yang lalu. Kacamata yang membuatnya mengerti Wirya.
“Waalaikumsalam! Ya ampun, sudah lama tidak bertemu.”
Kata Wirya canggung. Tangannya sibuk membuka gembok pagar yang entah kenapa
macet tidak mau dibuka. Membuat Wirya semakin salah tingkah.
Kemudian dari mobil itu keluar seorang laki-laki paruh
baya yang berbadan kekar dan tegap. Dia menggenggam kunci mobil di tangan
kirinya. Tangan kanannya melambai kepada Wirya yang berada di dalam rumah. Itu
adalah ayah Tyas. Namanya adalah Hadi Wibowo. Dipanggil Om Hadi, beliau adalah
seorang pengusaha. Ibunya Tyas sudah meninggal, inilah mengapa Om Hadi sangat
hebat, seorang diri mengurus anak semata wayangnya.
“Ada apa, Wir?” tanya Tyas.
“Enggak, Cuma kuncinya agak macet.” Kata Wirya sembari
mengangkat gembok yang sudah berhasil dibukanya. Dan setelah pagar besi itu
dibuka, Tyas berlari dan memeluk Wirya. Ayahnya yang berada di belakangnya
hanya tersenyum.
Pelukan itu awalnya terasa hanya satu menit, kemudian satu jam. Kemudian Wirya
yakin, mereka berdua telah berpelukan selama setahun. Untung saja kemudian Tyas
melepaskan pelukannya.
“Se...selamat datang” gagap Wirya.
“Kangen, Wir. Sudah lama tidak ketemu.”
“Dasar anak muda” kata Om Hadi yang kemudian mengambil
tas dibelakang bagasi dan membawanya masuk ke dalam rumah. Wirya dan Tyas hanya
melamun melihatnya. Dengan suitan kecil milik Om Hadi, lamunan keduanya buyar
dan mereka melanjutkan pembicaraan sambil berjalan ke arah rumah. Wirya
membawakan tas milik Tyas. Sebagai laki-laki dan tuan rumah, Wirya sangat tahu
sopan santun.
Di dalam rumah, Tyas dan ayahnya disambut dengan baik
oleh keluarga Wirya. Ayahnya langsung menyalami Om Hadi dengan erat. Maklum, Om
Hadi dan Ayahnya dulu sangat suka mancing bersama. Ibunya langsung menghampiri
Tyas dan memuji betapa semakin cantiknya dia sekaligus betapa kurusnya dia
sekarang.
Sedangkan Wirya hanya tersenyum bahagia. Seakan lagu I
Can’t Smile Without You milik Barry Manillow sedang diputar keras-keras dan
memenuhi ruangan. Perasaanya sedang berdansa sendiri dengan riangnya. Dia tidak
sabar bicara berdua dengan Tyas.
“Ayo makan dahulu!” ibunya kemudian menyela kehangatan
itu dengan diplomasi yang luar biasa sopan. Tidak lama kemudian, setelah
menaruh tas di kamar masing-masing, kursi di meja makan mulai ditarik. Semua
orang langsung makan di situ, menunya kali itu rawon.
Pembicaraan
berlangsung seru sekali. Mulai dari perkembangan perusahaan Om Hadi yang
sekarang melebar ke Sumatra. Lalu resep rawon yang terhidang di meja makan yang
ternyata sangat lezat. Bahkan, Tyas disuruh tambah melihat badannya yang kurus.
“Oh iya, selepas
ini saya dan Tyas mau pergi dulu. Tak apakah?” tanya Om Hadi yang ternyata
sudah selesai makan dan menutup sendoknya. Mengambil sapu tangannya dan
mengusap bibirnya.
“Tak mengapa
kok. Tapi kalau bisa ajaklah Wirya” kata ibunya.
“Tidak usah, bu.
Aku mau istirahat saja, nanti malam kan malam tahun baru. Aku mau lihat kembang
api seperti biasanya. Semoga saja tidak hujan.” Kata Wirya.
Kemudian setelah
makan. Tyas dan ayahnya berganti baju dan pergi untuk menyelesaikan urusan.
Sementara itu, Wirya malah tiduran di kamarnya dan ketiduran. Pikirannya masih
memikirkan pertemuan dengan Tyas. Dan dia berharap dia dapat mengajak Tyas
melihat kembang api di balkon rumahnya nanti malam.
Surabaya, 31 Desember 2016, 22.00
Hujan sudah mulai reda. Dingin mulai memeluk Wirya yang
sembunyi di selimutnya, menggigil. Belum ada orang yang melontarkan kembang api
ke langit. Tapi Wirya tetap menunggu dengan harapan pasti. Bahwa pasti ada
kembang api di langit.
Pintu kemudian dibuka.
“Siapa?”
“Aku,” kata Tyas, dan Wirya menengok ke belakang. Tyas
ada di situ berdiri diselimuti T-shirt berlengan panjang yang longgar dan
celana pendek. “Ibumu bilang kamu pasti ada di sini.”
“Duduklah” kata Wirya sembari bergeser ke sebelah. Kursi
panjang yang diduduki Wirya cukup untuk berdua. “Aku sedang menunggu kembang
api meluncur dan meledak di langit. Kau harus lihat, setidaknya itu sangat
menghibur hati.”
Mereka kemudian terdiam tanpa ada seorang pun yang
memulai pembiacaraan. Hanya ada bunyi angin yang tengah mengusik dedaunan pohon
jeruk yang ada di depan rumah Wirya. Juga mungkin kalau tidak salah dengar ada
beberapa kelelawar kecil yang tengah mencari buah jeruk yang matang.
“Wir,” panggil Tyas. Pikiran Wirya sudah melantur
kemana-mana. Ada apakah ini? Kemudian Tyas berdeham, “Aku mau curhat”
“Curhat?”
“Iya, boleh atau tidak?” tanya Tyas yang hanya
dianggukkan pelan oleh Wirya. “Yeee, Wirya baik. Jadi begini ceritanya...
Tyas
Aku sebenarnya tidak tahu perasaan ini dimulai dari mana.
Mungkin pada saat itu aku kelas 7 SMP kalau tidak salah. Aku melihat diantara
anak-anak yang baru masuk ada seorang laki-laki yang menarik perhatianku. Aku
tak tahu apa yang membuatku tertarik padanya. Aku hanya tertarik padanya begitu
saja. Tak ada paksaan. Tak ada alasan.
Matanya tajam. Tapi mataku lebih tajam, apalagi jika mata
itu ditunjukkan kepadanya. Aku mengamatinya lekat. Saat dia memainkan bola di
lapangan. Saat dia berjalan pulang dengan ransel yang penuh di belakangnya. Aku
tertarik padanya.
Dan lama-ama perasaan yang kupunya ini kujaga rapi,
kupelihara agar tumbuh. Dan perasaan ini tumbuh beriringan dengan harapan yang
tinggi. Yang mengangkasa menggapai awan. Walaupun banyak keraguan yang
membuatku berpikir lebih keras. Aku mulai menyukainya, dan lama-kelamaan
berkembang menjadi sayang.
Aku mulai berani. Berani mendekatinya, mendekatinya
sebagai teman sekolah yang baik dan perhatian. Awalanya cukup sulit, tapi pada
akhirnya kami benar-benar dekat, sebagai teman sekolah yang baik dan saling
perhatian. Dia entah kenapa tidak cukup peka untuk mengetahui perasaanku. Tidak
cukup peka untuk menganggap perjuangan ku ini.
Lewat tiga tahun penuh kenangan manis di SMP, kami berdua
beranjak dewasa dan masuk ke SMA. Lagi-lagi kami masuk kembali sebagai teman
sekolah yang baik dan saling perhatian. diterpa oleh MOS yang ganas, keras, dan
menusuk hati, kami masih bersama sebagai teman. Jujur, walau rasa sayang ini
tak terbalas, aku masih terus memeliharanya. Membuatku terpaku membuka mata
setiap malam. Menatap langit-langit, berkhayal tentang aku dan dia. Aku
tersiksa tapi tetap bahagia. Jadi aku menuliskannya. Biar kertas-kertas putih
itu ikut bercampur menjadi satu derita yang manis.
Kami masih sering berjalan bersama, pulang bersama, dan
belajar bersama. Tapi lama-kelamaan ini, seiring berjalannya tahun pertama di
SMA, aku mulai tidak merasakan apapun. Aku lama kelamaan juga hanya
menganggapnya seorang teman sekolah yang baik dan perhatian.
Bahkan bagiku rindu yang kurasa menjadi biasa saja. Rindu
yang biasanya kuagung-agungkan sebagai hujan bulan njuni yang diserap akar-akar
basah itu menjadi biasa saja. Tak ada menjadi luar biasa seperti sedia kala. Ya
rindu itu menjadi biasa saja. Aku mulai mati rasa.
Jadi aku mulai sedikit menjauh kepadanya.
Namun, dia berubah. Dia berubah sejak jurusan kami
menjadi sama-sama program ilmu IPA. Di menjadi lebih hangat. Dia menjadi lebih
dari sekadar teman sekolah yang baik dan perhatian. tapi apadaya, aku telah
mati rasa. Aku tidak dapat lagi diangkat menuju euforia yang berdendang ria
saat bersamanya. Aku menjadi biasa saja. Aku sudah tak ada apa-apa lagi
dengannya.
Lalu saat tahun terakhir di SMA aku benar-benar mulai
menjauhinya. Aku mulai dekat dengan banyak teman-teman laki-laki. Mencoba mengusirnya
dari pikiranku. Dari hatiku. Membuatnya kebingungan dalam sapuan perasaan yang
membingungkan.
Hal ta jelas itu akhirnya berlanjut sampai akhirnya kami
lulus dan aku pergi dari Surabaya, kuliah di ITB, ikut Ayahku. Namun aku
akhirnya tersadar kembali. Aku sayang padanya. Aku ingin dekat lagi padanya.
Tapi terlambat, kata-kata yang belum sempat terucap itu sudah tertelan bersama
kopi-kopi yang mengiringi pergalauan kami berdua.
Selama dua tahun kami berpisah. Selama 4 semester di
Bandung aku kesepian. Melewati tahun baru dengan kedinginan menyeruak di dalam
dada. Tapi, akhirnya di penutup tahun ini akhirnya aku bertemu lagi dengannya.
Di Surabaya. Dan duduk di sebelahnya melihat langit.
***
Wirya hanya tercengang mendengar cerita Tyas. Dia hanya
tersentak kaget mendengar luapan-luapan perasaan yang selama ini dipendam oleh
Tyas. Yang dia tak pernah tahu. Yang tak pernah mereka tanyakan ataupun
bicarakan.
“Dan tahukah kau, Wir? Pria itu kau” kata Tyas.
“Aku selalu disini, Ty. Dan maukah kau mendengar
ceritaku? Walaupun aku tak tahu kau suka ceritamu atau tidak.” Tanya Wirya
lembut dia lalu meyelimuti Tyas dengan selimut yang dikenakannya.
“Aku pasti mendengarkanmu kok”
Wirya
Aku adalah lelaki yang beruntung sebenarnya. Ada seorang
wanita yang selalu menggenggam hatiku sedari SMP, yang membuat hatiku tidak
jatuh dan pecah. Sandaran hati yang bagus.
Aku pertama kali bertemu dengannya pada saat MOS SMP.
Sesaat memang tak ada yang menarik darinya. Aku bahkan tak menggubrisnya pada
awalanya. Tak peduli. Aku lebih suka bermain bersama teman-teman dari pada
mengumbar isi hati.
Tapi dia mendekatiku, awalnya aku biasa saja. Kuanggap
dia teman. Dan aku tetap menjadikannya teman pada saaat ada sesuatu yang
membuncah dan tumbuh di dalam dadaku. Ada perasaan suka yang lama-lama ada. Ah,
tapi aku tak menggubrisnya. Aku benci romantika dan melankolia. Hidup ini harus
senang. Dan aku hanya memendam perasaan itu dalam-dalam dan tak mencoba untuk
membicarakannya dan merasakannya.
Hal itu berlangsung selama tiga tahun. Aku menyimpan
perasaan itu dengan rapi, tak kubiarkan ia tumbuh lebih dari suka. Begitu
tumbuh sedikit, tak lupa kupangkas. Namun aku lupa. Perasaan, jika kau pangkas
atasnya, akan mengakar lebih kuat. Sehingga akan sulit dicabut dan dihilangkan.
Begitulah denganku.
Saat aku masuk SMA, aku semakin sulit mengendalikan
pertumbuhan perasaan itu, hingga akhirnya aku mulai merasakan, bahwa rasa
sayang ini begitu indah dan bahagia. Aku mencoba mencabutnya pada awalnya. Tapi
tak bisa, hingga aku melepaskannya, membiarkannya menyeruak ke luar. Membiarkan
aku menyayanginya.
Sialnya, saat aku benar-benar sayang dengannya, dia mulai
menjauh. Mulanya aku tak mengerti. Hingga kehidupan ini memberiku mengerti. Dia
sudah lelah memperjuangkan hatinya, memperjuangkan perasaannya. Karena lelaki
brengsek yang diperjuangkannya bahkan tak tahu apa-apa, tidak peka.
Aku menyesal. Kita berada dalam keadaan yang tidak tepat.
Kita semakin menjauh, hingga malam ini. Malam penutup tahun 2016 ini. Dia duduk
di depanku, mendengarkan ceritaku dan menangis menderu.
***
Air mata mulai merembes deras di kedua pipi Tyas. Tak ada
penyesalan yang lebih hebat daripada malam itu. Mereka berdua terpaku dan
berpelukan. Lalu kembang api diledakkan ke atas mengiringi tangis yang pecah
itu. Seakan orang-orang yang merayakan tahun baru tidak tahu sedang ada dua
hati yang dipertemukan setelah sekian lama.
“Sekian lama ini kita saling menyembunyikan perasaan.
Pantas saja perasaan kita tak pernah bertemu dan menjadi satu. Kita saling
menyayangi di waktu yang salah. Andai saja pada saat itu kau membalas
perasaanku, bukan kau simpan rapat-rapat. Mungkin kita tak perlu tersiksa
seperti ini, Wir.” Kata Tyas dalam pelukan Wirya.
“maafkan aku untuk begitu kejam kepadamu.” Kata Wirya.
“Maafku untukmu. Maukah kau memaafkan aku juga karena
meninggalkanmu saat cinta mualai menyeruak di dadamu?” Wirya mengiyakannya.
Diterangi kembang api yang sedang meledak-ledak, Tyas lalu mendekatkan bibirnya
ke bibir Wirya dan menciumnya. Lama. Seakan sudah dua musim yang panjang
berlangsung. Ciuman itu ditutup dengan ucapan “ Selamat tahun baru 2017.”
Jam sudah menunjukkan
pukul 00.00, awal yang baru untuk dua hati
“Lihatlah,
kembang api begitu indahnya malam ini. Untuk selanjutnya, seindah kembang api
itu ya?”
“Mungkin kita memang kembang api, Wir. Kitalah kembang
api, menghiasi malam hari yang gelap itu. Semoga kita terus menrangi sat sama
lain dan tidak ada yang menyembunyikan perasaan lagi.” Ucapan Tyas
“Harapan 2017” bisik Wirya.
Rumah Sakit Islam
Jemursari, Surabaya, 1 Januari 2017
“Kebodohan macam apa ini?” teriak Wirya histeris.
“Diam, ini bukan kebodohan, dia telah tiada, Wir” teriak
ayahnya berusaha menenangkannya “Tenanglah! Apa kau ingin membuat Tyas bersedih
di alam sana?”
Wirya akhirnya tenang dan menangis tersedu di pangkuan
ibunya. Kata-kata ayahnya begitu menyodok perutnya hingga dia tak kuasa lagi
berdiri dan berteriak menyalahkan Tuhan atas ketidakadilan itu.
“Sekian lama aku merindukannya, sekian lama aku memendam
rasaku ke padanya. Saat kami sama-sama mengutarakan hati. Dia pergi. Apa
salahku, bu? Aku merindukannya sampai mati. Dan belum puas rindu itu terobati.
Dia pergi. Dia pergi bukan ke Bandung. Dia pergi selama-lamanya. Tidak adil.”
Wirya masih terisak-isak di pangkuan ibunya, mengungkapkan kekesalan hatinya.
Ibunya hanya mengusap kepalanya, mencoba menangkannya.
Mulanya ibunya juga menangis, tapi sekarang telah tenang. “Wir” ibunya membuka
pembicaraan, “Menurut ibu, Rindu itu biasa saja. Kau bukan harus menangisinya,
bukan menyalahkan tuhan. Jika kau memang kau rindu padanya. Doakan dia. Rindu
itu biasa saja.”
Kemudian langkah kaki terdengar bergema di koridor rumah
sakit. Itu adalah Om Hadi. Wajahnya keras. Seperti habis ditinju oleh petinju
kelas berat. Dia kemudian menghampiri Wirya.
“Wir, aku ingin berterima kasih.” Kata Om Hadi, Wirya
kemudian menoleh dengan air mata masih membasuh wajahnya. “Begini, sebenarnya
Tyas sudah divonis kanker otak. Om sudah siap dengan itu. Hanya saja Tyas ingin
bertemu kamu. Bertemu untuk terakhir kalinya di malam tahun baru.”
“Kenapa?”
“Dia mencintaimu. setidaknya dia ingin denganmu sampai
akhir hayatnya. Maafkan Om dan Tyas, karena kami begitu kejam untuk tidak
memberitahumu hal itu, maukah kau memaafkan om?”
Wirya hanya terdiam kaku. Tak sampai hati dia tidak
memaafkan Om Hadi. Dilihat dari segi manapun, Om Hadi lebih menderita darinya.
Om Hadi sudah sendirian, istrinya sudah meninggal, anaknya juga. Dia pasti
kesepian.
“Aku memaafkan Om, tapi sejak kapan?” tanya Wirya,
bibirnya bergetar. “Kenapa aku tak pernah tahu dan diberitahu. Aku
mencintainya, Om. Om tahu itu”
“Entahlah, kami baru sadar tahun lalu, tapi itupun sudah
terlambat. Dan saat divonis dokter umurnya tinggal sedikit, dia ingin bertmu
kau. Dia sendiri yang menolak memberi tahumu semua itu.”
Koridor rumah sakit itu senyap. Wirya masih menangis.
“Dan Wir, dia menitipkan satu hal, hubungan kalian itu
seperti kembang api. Dan jangan merindukan penipu seperti dia, jika rindu,
rindu itu biasa saja.”
Wirya terdiam memikirkan ucapan Om Hadi tadi. Dia tidak
tahu. Kembang api itu indah. Tapi tidak selamanya, hanya beberapa kali ledakan
dan selesai. Mungkin itulah yang dimaksud Om Hadi. Hubungan Tyas-Wirya seperti
kembang api, mereka diangkat hingga harapan mereka tinggi, lalu meledak menjadi
sesuatu yang indah dan hilang.
Wirya lalu dipapah Om Hadi melihat wajah Tyas. Wajahnya
begitu tenang seolah sudah mencapai apa yang diinginkannya. Seakan dia
menjalani kematian dengan ikhlas. Melihat wajah yang tenang itulah, air mata
mulai meleleh lagi di pipi Wirya.
“Lihatlah Wir, wajahnya sangat tenang” kata Om Hadi. “Untuk
apa kau menangisi orang yang sudah bahagia seperti ini. Kau sudah memenuhi
keinginan terakhirnya. Lalu kau mau menangisi apa?”
“Aku sedang menangisi yang kami lewatkan, yang kami
berdua buang, dan perasaan yang saling kami hinakan dulu.” Kata Wirya dalam. “Aku
menyesal tidak melewati 6 tahun bersamanya dengan membuka hatiku. Aku menghinakan
perasaanku sendiri Om. Aku merasa bersalah.”
“Seperti kataku, kalian tidak menghinakan apa yang kalian
rasakan pada akhirnya, itu saja sudah cukup. Aku bangga pada kalian. Dan aku
berterima kasih sudah memenuhi keinginannya yang terakhir. Jangan
merindukannya, Wir”
Wirya lalu mengelus wajah Tyas. “Tidak, aku akan
merindukannya, aku akan mendoakannya, karena Rindu Itu Biasa Saja.” Kata Wirya
dan Om Hadi menggenggam pundaknya hangat.
kalau ada waktu dikembangin lagi aja ceritanya, biar plotnya ga langsung lompat, bikin agak dramatis gitu :)
BalasHapus