DH #6

Ruang Kerja Wikara, 6 Februari 2018

Perkenankan aku membahasakan racun dalam senyap

Aku sudah lupa kapan terakhir kali beli kalender baru dan menggantungnya di pikiranku. Mataku masih buta memandang layar televisi sebagai seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Jemariku masih sama kaku saat kau perintahkan untuk menggambarkan pemandangan -aku masih sama merangkai fona menjadi cercaan hina atas diriku.

Koper cokelat berisi takdir masih terkunci rapat di bawah lemari. Ku menumpuknya dengan plat-plat baja yang kukumpulkan pelan-pelan di pasae loak setiap minggu pagi. Aku lupa kombinasi angka untuk menghadapi takdir. Atau seperti katanya, aku hanya terlalu pengecut untuk mengingat.

Memaafkan dirimu sendiri tak pernah mudah

Apalagi ketika dirimu penuh dengan bau minyak angin sisa kerokan tadi malam. Atau bau alkohol dan rokok yang melekat pada punggung lebarmu yang kau gunakan untuk menanggung dunia. Aku memilih jalan yang paling mudah dengan meninggikan egoku.

"tapi dunia akan terus menerus memecundangimu. Mimpimu akan dinego semakin murah"

Masalah. Berat.

Aku jadi berpikir di warung kopi di ujung malam. Apakah semesta berjalan sesuai kemauan manusia ataukah hanya berjalan sesuai nista yang nyenyak? Semuanya larut pada gelapnya malam dan ampas kopi.

"Mungkin aku hanya bisa memungkiri takdirku"

"Kau memang pengecut" sahutmu

Tapi aku tak peduli. Biarkan saja omong kosong mengenai takdir itu kusimpan rapat-rapat dalam koperku. Aku tak lagi membeli kalender baru dan mahal yang dijajakan di universitas ternama. Karena aku cuma duduk di suatu sore memandang televisiku.

Aku ingin menggerus puyer dan memasukkannya di kepalaku. Supaya aku ingat, bahwa pahit adalah menyembuhkan.

Kelak, aku akan menyingkirkan plat-plat tajam di atas koper yang menyisakan bau besi dan korosi. Memutar kombinasi angkanya dan mengeluarkan takdirku dari dalam.

Tapi nanti, setelah aku menjalani hidup dengan caraku sendiri.

Komentar

Postingan Populer