Hari ke Tujuh Belas

Seperti rerimbunan dedaunan yang dihinggapi beberapa perasaan, keluar dari kamar dengan headphone terpasang di telinga menjadi sebuah momen yang sentimental. Betapa tidak, Dea hanya bisa menggigil sementara dinginnya hari tak melulu bisa diredam dengan sweater warna biru muda pemberian kakaknya.

Kali ini dia mencoba untuk tidak membumbui dinginnya pagi dengan lagu berlirik menghantam perasaan: tapi yang lagu yang diputar sedari tadi adalah Linger-nya the Cranberries. Perasaan Dea menjadi bukan main. Ah tapi sialnya aplikasi streaming di android miliknya sedang lag dan memutar lagu itu terus menerus.

Walaupun, matanya masih sembab dan pagi semakin menggigilkan hatinya, Dea tetap mengenakan sepatunya. Seperti hari pertama sejak akhirnya air mata miliknya jatuh kembali untuk seorang pria, hingga hari ketujuh belas di mana dingin dan sepinya jalanan pagi menjadi sahabatnya.

Langkah-langkah yang dia ambil setelah peregangan selesai, semakin ringan. Walaupun langkah di awal nyatanya berat: karena dimuati isak, rindu, rasa kecewa, dan beberapa sesak yang Dea tak tahu itu apa. Dea sudah tak tahu harus bagaimana lagi apabila tidak berlari. Langkah demi langkah, jejak demi jejak, detak demi detak jantungnya berharap rasa-rasa yang berat itu segera terlepas dari sepatunya.

Pagi itu, basah jalanan bekas hujan sebelum subuh membantu ingatan untuk menghilangkan seseorang sementara.

Dea setidaknya belum bisa melupakannya. Namun, dengan setiap keringat yang bercucuran, dengan setiap helaan nafas yang cukup panjang, Dea cukup tahu untuk tidak tersungkur dan semburat. Karena setelah senja yang diselimuti jingga dan dipeluk malam yang panjang, fajar memberikan suatu kehangatan tersendiri dalam hati.

Pada langkah yang entah keberapa, Dea akhirnya sadar bahwa akan ada jatuh cinta lain yang lebih membahagiakan.

Komentar

Postingan Populer